Menganalisis
pencitraan puisi baru
PUISI I
MIMPI DI TAMAN SURGAWI
kepada Norchi
kini kepada Norchi
sudah saatnya aku berhenti (perasaan)
menghitung hari tak bertepi (perasaan)
yang kian menyiksa diri (perasaan)
telah lama kujelajahi padang kenangan (perasaan)
dalam redup sendu cahaya matamu (pengelihatan)
senyum manismu (pengelihatan)
kecantikan wajahmu (pengelihatan)
mengiringkan langkahku menapaki taman surgawi (gerak)
terukir kenangan bersamamu (perasaan)
kini
telah saatnya aku berhenti (perasaan)
menghitung hari
yang kian menyiksa diri (perasaan)
pada mekarnya mawar (pengelihatan)
menyimpan duri
pada indahnya taman surgawi (pengelihatan)
ternyata hanya mimpi (perasaan)
duri itu, kasih (pengelihatan)
begitu ganas menusuk ke ulu hati (perasaan)
hingga aku sadar diri (perasaan)
semuanya hanya mimpi (perasaan)
sebab tak mungkin kau kumiliki (perasaan)
lambaian tanganmu kasih (pengelihatan)
kian menoreh luka di hati (perasaan)
selamat tinggal kasih (perasaan)
dan jangan kau kembali
Yogyakarta, 5 Mei 1993
PUISI II
PERTANYAAN ANAK KECIL
Hai kayu-kayu dan daun-daunan! (pengelihatan)
Mengapakah
kamu bersenang-senang? (pengelihatan)
Tertawa-tawa
bersuka-sukaan? (pendengaran)
Oleh
angin dan tenang, serang?
Adakah
angin tertawa dengan kami? (pendengaran)
Bercerita bagus menyenangkan kami? (pendengaran)
Aku tidak mengerti kesukaan kamu!
Mengapa kamu tertawa-tawa? (pendengaran)
Hai kumbang bernyanyi-nyanyi! (pendengaran)
Apakah yang kamu nyanyi-nyanyikan? (pendengaran)
Bunga-bungaan kau penuhkan bunyi! (pendengaran)
Apakah yang kamu bunyi-bunyikan? (pendengaran)
Bungakah
itu atau madukah?
Apakah?
Mengapakah? Bagaimanakah?
Mengapakah kamu tertawa-tawa? (pendengaran)
(Mr. Dajoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar